Semua Kekonyolan di Dunia Adalah... Kenikmatan...

Senin, 29 Desember 2008

Anak Motor*, sebuah Gaya Hidup atau Sekadar Gaya-gayaan?

Sebelumnya mohon maaf jika ada pihak yang tersinggung atas artikel ini. Namun, saya menulis bukan tanpa alasan. Saya menulisnya karena saya sering dibuat kesal oleh anak yang memakai jalan umum seperti jalan milik nenek mereka sendiri. Padahal bukankah jalan umum merupakan jalan milik kita bersama? Lha wong saya juga ikut bayar pajaknya.
Mungkin dalam benak mereka, mereka pikir mereka keren. Meliuk-meliukkan motor bagaikan Rossi tanpa memandang situasi apakah jalanan sepi atau penuh sesak. Jika mereka pikir mereka keren, tidak untuk orang lain! Orang lain justru memandang mereka ndeso. Anak ndeso yang baru bisa naik motor akan seperti mereka dengan bergaya dan berharap akan dilirik cewek-cewek.
Jika dilihat dari organisasi-organisasi besar yang telah terbentuk di Indonesia, mereka bergabung bukan atas gaya-gayaan, melainkan karena memang sudah menjadi gaya hidup mereka. Tidak seperti anak
ndeso yang tadi saya sebutkan, mereka bergabung ke dalam suatu komunitas bukan atas gaya hidup, tetapi atas dasar gaya-gayaan.
Ada satu lagi ciri-ciri anak
ndeso, yaitu memaki helm karena ada polisi. Bukankah kita memakai helm demi keselamatan kita sendiri? Pengen gaya-gayaan masa takut polisi? Ya nggak lucu ah. Dengan pandangan masyarakat kita seperti ini, dapat disebutkan bahwa warga kita belum beradab (uncivilized civilian). Lihat saja di negara-negara maju yang masyarakatnya telah menjadi masyarakat modern. Masyarakat di sana telah memiliki kesadaran tinggi tentang keselamatan di jalan. Mereka memakai helm bukan karena takut akan petugas, tetapi karena atas kesadaran mereka sendiri. Bukankah kita ingin meniru gaya orang barat? Mengapa kita masih memakai pandangan tidak beradab kita?
Semoga menjadi bahan introspeksi bagi kita semua.

*anak motor yang ndeso

Minggu, 28 Desember 2008

Belahan Jiwa


Engkau begitu mulia

Engkau tiada duanya

Engkau Cahayaku

Begitu tiada tara dirimu


Bahagiamu adalah bahagiaku

Senyummu adalah senyumku

Kan kujaga slalu

Hingga kesedihan takkan sanggup

menghinggapimu



Ajal Seorang Tersayang


Nada serak mengalun memaksa

Senyuman bibir kering berair mata

Menyanggup segala lara


Serat urat membekas tegas

Sembari menengadah

Harapkan kesanggupan jiwa dan raga


Haruskah ia berjalan

di atas duri kehidupan ini

Sendiri…

Tanpa dampingan



Pejuang Ganasnya Kehidupan


Tubuh kering, kusam

Bermandikan sengatan

Berjalan peluh menapak


Jinjingan kotak bambu

Hiasi pundak kekar lemahnya


Tiada henti pikir mengambang

Sanggupkah ia melampaui

Hancurnya mimpi panjang ini


Ranah Kebimbangan


Hancur…

Begitu aku menyebutnya

Ketika semua moral telah binasa


Hancur…

Begitu aku menganggapnya

Ketika sang penyelamat

Berlomba dalam berkhianat


Hancur…

Begitu aku menganggapnya

Ketika semua harta dan permata

Tak ubahnya segala sengsara


Oh Tuhan…

Bukankah seharusnya cinta ini untuk negeriku

Bukan benci yang harus aku persembahkan


Bimbang…

Bimbang…

Bimbang…

Hatiku bimbang